Selasa, 25 September 2012

Angka Tahun: Sejarah Batak

PERMULAAN GENERASI PERTAMA MANUSIA

Tersebutlah dalam kitab-kitab suci bangsa Timur Tengah bahwa Adam, yang dianggap sebagai manusia pertama dan Nabi pertama, mulai mengembangkan generasinya bersama Siti Hawa, Nenek Moyang Manusia yang ditemukan kembali setelah didamparkan di daerah India dari Surga.

Generasi berikutnya mulai melahirkan beberapa kelompok Bangsa. Bangsa Semetik kemudian menurunkan Bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang. Khabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi Ibrahim. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa Braminik yang chauvinistik dan menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian, Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain sebangsanya.

Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.

Bangsa Tatar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata cipit, Hokkian yang menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika, Batak; Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.

Penyebaran populasi manusia terjadi paska “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai Banjir Bah di jaman Nabi Nuh AS. Di jaman ini pula ada sebuah komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’ dimasukkan di kapal Nabi Nuh.

3000-1000 SM (SEBELUM MASEHI)
Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirp dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos.

Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid Isolation di lembah lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan. Mereka sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang yang berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi oleh ideologi yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme (Yang disinyalir sebagai ajaran turunan dari agama Nabi Nuh AS), Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan Romawi dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme

Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga abad 19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa Tayal, bangsa pribumi di Taiwan, Orang-orang Bontoc dan batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina.

1000 SM
Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang lebih tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka menyebut dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai) dan Kamboja yang kemudian menjadi cikal-bakal negara.

Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang karena teknologi mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk mencari daerah baru bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam ‘splendid isolation’ kembali.

Bangsa Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Bangsa Toraja ke selatannya, Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan merupakan sebuah suku yang sampai sekarang menggunaka istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal membuka daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu, daerah mereka diserobot dan kedamaian hidup mereka terusak oleh orang-orang Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan.

Yang lain, Bangsa Ranau terdampar di Lampung. Bangsa Karen tidak sempat mempersiapkan diri untuk migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan pemberontakan atas dominasi Suku Burma atau Myamar yang memerintah.

Selebihnya, Bangsa Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo, Assamese mendirikan negara-negara bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang untuk mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa Arya-Dravidian, yakni Bangsa India, yang mulai menduduki daerah tersebut karena over populasi.
Bangsa Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat di kepulauan Andaman (sekarang merupakan bagian dari India) dan Andalas dalam tiga gelombang.

Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau Enggano. Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri sungai Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini berkembang dan membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka yang menyusuri Sungai Simpang Kanan membentuk Komunitas Batak Alas dan Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta Aceh.

Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam. Mereka kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba. Mereka kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana di seberang kota Pangururan yang sekarang. Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.

Masih dalam budaya ‘splendid isolation’, di sini, Bangsa Batak dapat berkembang dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat sebagai kubu tertua dan yang kedua; Kubu Isumbaon yang di dalam adat dianggap yang bungsu.

Sementara itu komunitas awal Bangsa Batak, jumlahnya sangat kecil, yang hijrah dan migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya dan mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa Arab, Yunani dan Romawi kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil produksi mereka, kapur Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan mumi, Raja-raja tuhan Fir’aun yang sudah meninggal. Tentunya di masa inilah hidup seorang pembawa agama yang dikenal sebagai Nabi Musa AS.

1000 SM – 1510 M
Komunitas Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi. Persaingan dan Kerjasama menciptakan sebuah pemerintahan yang berkuasa mengatur dan menetapkan sistem adat.

Ratusan tahun sebelum lahirnya Nabi Isa Al Masih, Nabi Bangsa Israel di Tanah Palestina, Dinasti Sori Mangaraja telah berkuasa dan menciptakan tatanan bangsa yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana.

Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian besar adalah Datu, Magician, mengatur pemerintahan atas seluruh Bangsa Batak, di daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi.

Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan. Mereka sangat disegani oleh Bangsa Batak di bagian selatan yang keturunan dari Tatea Bulan.

Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk mempertahankan regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para tenaga medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular yang sudah menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah.

Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagain membuka pemukiman baru di daerah hutan belukar di arah selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok di antaranya turun ke arah timur, menetap dan membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir Kota Medan.




450 M
Daerah Toba telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok marga Si Bagot Ni Pohan, leluhur Annisa Pohan, menantu SBY, Presiden pilihan langsung pertama RI. Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.

Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap di Toba dan Uluan hingga kini. Keturunannya di Medan mendirikan banyak lembaga sosial terutama Pesantren Modern Darul Arafah di Pinggiran Kota Medan.

Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung melawan orang-orang Minang. Kalah. Perantauan berhenti dan mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng pertahanan.

Mereka kemudian berhadapan dengan bangsa Lubu, Bangsa berkulit Hitam ras Dravidian yang terusir dari India, melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai Batang Toru. Bangsa Lobu tersingkir dan kemudian menetap di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bila di India Bangsa Arya meletakkan mereka sebagai bangsa terhina, ‘untouchable’; haram dilihat dan disentuh, maka nasib sama hampir menimpa mereka di sini. Saudara Bangsa Lubu, Bangsa Tamil migrasi beberapa abad kemudian, dari India Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli, Medan.



600-1200
Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sori Mangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo mendirikan kerajaan Islam Aceh.

Simalungun merupsakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.

Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.

Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.


Di daerah pesisir Barat, Barus, kota maritim yang bertambah pesat yang sekarang masuk di Kerajaan Batak mulai didatangi pelaut-pelaut baru, terutama Cina, Pedagang Gujarat, Persia dan Arab. Pelaut-pelaut Romawi Kuno dan Yunani Kuno sudah digantikan oleh keturunan mereka pelaut-pelaut Eropa yang lebih canggih, dididikan Arab Spanyol. Islam mulai diterima sebagai kepercayaan resmi oleh sebagian elemen pedagang Bangsa Batak yang mengimpor bahan perhiasan dan alat-alat teknologi lainnya serta mengekpor ‘Kemenyan’ komoditas satu-satunya tanah Batak yang sangat diminati dunia.

Islam mulai dikenal dan diterima sebagai agama resmi orang-orang Batak di pesisir; khusunya Singkil dan Barus.

850 M
Kelompok Marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai kendaraan bermigrasi.

Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah menguasai hampir leuruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan. Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.

Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di sini tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas mereka menjadi penguasa feodalistik dan mulai emmeprkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.

900 M
Marga Nasution mulai tebentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama masyarakat Batak di sini, disinyalir saat itu zaman Nabi Sulaiman di Timur Tengah (Buku Ompu Parlindungan), perbauran penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi di beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.

Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.

Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.

Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi di Pusat Pemerintahan Kerajaan batak, martua Raja Doli dari Siangjur Sagala Limbong Mulana dengan pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir Timur. Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.


1050 M
Karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung kembali. Masyarakat Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar dari wilayah tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga Siregar terpecah dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukin di Toba.

1293 – 1339 M
Penetrasi orang-orang Hindu yang berkolaborasi dengan Bangsa Jawa mendirikan Kerajaan Silo, di Simalungun, dengan Raja Pertama Indra Warman dengan pasukan yang berasal dari Singosari. Pusat Pemerintah Agama ini berkedudukan di Dolok Sinumbah. Kerak direbut oleh orang-orang Batak dan di atasnya menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan Simalungun dengan identitas yang mulai terpisah dengan Batak. Kerajaan Silo ini terdiri dari dua level masyarakat; Para Elit yang terdiri dari kaum Priayi Jawa dan Masyarakat yang terdiri dari kelompok Marga Siregar Silo.

1331 – 1364
Di Nusantara, Kerajaan Majapahit timbul menjadi sebuah Negara Superpower. Sebelumnya, Sebagain Eropa Barat dan Timur sampai ke Kazan Rusia, Asia Tengah dan Afrika Utara dan tentunya Timur Tengah didominasi Kekuatan Arab yang juga menguasasi Samudera India, Atlantik dan sebagain Samudera Pasifik.. Kekuatan Persia-Mongol tampak di India, Pakistan, Banglades dan sebagian China dan Indo-Cina serta beberapa kepulauan Nusantara, mereka tidak kuat di laut. China menguasasi sebagian Samudera Pasifik khususnya laut China Selatan. Sementara itu di pedalaman Eropa manusia masih hidup dalam pengaruh Yunani dan Romawi yang Animis, mereka kemudian menjadi perompak dan pembajak laut. Di daerah nusantara kaum Hokkian menguasasi jaringan ‘garong’ perompak yang terkadang lebih kuat dari kerajaan-kerajaan kecil melayu. Para pembajak laut Eropa sesekali diboncengi kaum Fundamentalis Yahudi dan pendatang baru; kaum trinitas Gereja barat yang berseberangan dengan Gereja timur yang unitarian dan menaruh dendam kesumat atas kejayaan Arab.

1339
Pasukan ampibi Kerajaan Majapahit melakukan penetrasi di muara Sungai Asahan. Dimulailah upaya invasi terhadap Kerajaan Silo. Raja Indrawarman tewas dalam penyerbuan tersebut. Kerajaan Silo berantakan, keturunan raja bersembunyi di Haranggaol.

Pasukan Mojopahit di bawah komando Perdana Menteri Gajah Mada, mengamuk dan menghancurkan beberapa kerajaan lain; Kerajaan Haru/Wampu serta Kesahbandaran Tamiang (sekarang Aceh Tamiang) yang saat itu merupakan wilayah kedulatan Samudra Pasai.

Pasukan Samudra Pasai, di bawah komando Panglima Mula Setia, turun ke lokasi dan berhasil menyergap tentara Majapahit di rawa-rawa sungai Tamiang. Gajah Mada bersma pengawal pribadinya melarikan diri ke Jawa meninggalkan tentaranya terkepung oleh pasukan musuh.

Para Keturunan Indrawarman kembali ke kerajaan dan mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Dolok Siolo dan Kerajaan Raya Kahean.

1339-1947.

Kerajaan Dolok Silo dan Raya Kahean berakulturasi menjadi kerajaan Batak/Simalungun, namun tetap berciri khas Hindu/Jawa absolut. Konon kerajaan ini mampu berdiri selama 600 tahun. Menjadi dinasti tertua di Kepulauan Indonesia di abad 20. Sekitar 250 tahun lebih tua dari Dinasti Mataram di Pulau Jawa.

Pada saat yang sama dua kerajaan lain muncul kepermukaan; Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Raja di Kerajaan Siantar merupakan keturunan Indrawarman, sementara Pulau Jawa, dipimpin oleh Raja Marga Sinaga dari Samosir. Penamaan tanah Jawa untuk mengenang Indrawarman.

1350
Kelompok Marga Siregar bermigrasi ke Sipirok di Tanah Batak Selatan.

1416 – 1513
Pasukan Cina dibawah komando Laksamana Haji Sam Po Bo, Ceng Ho, dalam armada kapal induk mendarat di Muara Labuh di muara Sungai Batang Gadis. Salah satu misi mereka; mengejar para bandit Hokkian tercapai. Sebelum berangkat, pasukan Cengho yang berjumlah ribuah itu mendirikan industri pengolahan kayu dan sekaligus membuka pelabuhan Sing Kwang (Singkuang=Tanah Baru).

1416-1513
Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam mulai berdatangan ke Sing Kwang dan berasimilasi dengan penduduk khususnya kelompok marga Nasution. Para Tionghoa tersebut membeli Kayu Meranti dari pengusaha setempat dan mengirimkannya ke Cina daratan untuk bahan baku tiang istana, kuil dan tempat ibadah lainnya.

1450-1500
Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khsuusnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dab Sungai Karang.

Perubahan terjadi di konstalasi politik dunia. Para bajak laut Eropa mulai mencari target operasi baru di kepulauan Nusantara yang hilir mudik dilalui para pedagang-pedagang Internasional; Arab, Afrika, India, Gujarat, Punjabi, Yunnan dan tentunya kelompok bajak laut lokal; Hokkian.

1450-1818
Kelompok Marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. ‘Splendidi Isolation’ Bangsa batak mulai terkuak. Yang positif bisa masuk namun tidak yang negatif.

Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberap kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan. Siapapun berhak membeli, tidak ada diskriminasi agama. Toleransi antara Islam dan Agama S.M.Raja berlangsung begitu erat dan hangat.



1508
Kerajaan Haru/Wampu yang berpopulasi orang-orang Batak Karo diinvasi oleh Kesultanan Aceh. Dalam perkembangan politik berikutnya para keturunan Raja Haru/Wampu mendirikan kerajaan baru yang menjadi cikal bakal Kesultanan Langkat.

1508-1523
Kesultanan Haru/Delitua tetap eksis di daerah pengairan sungai Deli namun kedulatannya berada dalam otoritas Kesultanan Aceh. Penduduknya merupakan Batak Karo yang sudah memeluk agama Islam. Setelah melemahnya dominasi Kesultanan Aceh, Kesultanan ini bertransformasi menjadi Kesultanan Deli.

Kelompok bajak laut Eropa setelah beberapa lama dikucilkan karena perangai ‘garongnya’ mulai memperkenalkan diri kepada kerajaan-kerajaan nusantara sebagai ‘pedagang damai’. Taktik ini diambil agar mereka dapat melakukan penetrasi ke wilayah kerajaan untuk pemetaan dan penentuan titik-titik serangan untuk ‘devide et impera’.

1510
Dinasti Sori Mangaraja, yang berpusat di Sianjur Limbong Mulana, dikudeta oleh Kelompok Marga Manullang. Kejayaan dinasti ini, setelah 90 generasi berturut-turut memerintah, lenyap. Dinasti ini sendiri terdiri dari Kelompok Marga Sagala dari kubu Tatea Bulan.



1516-1816
Di Daerah Batak Selatan, dengan populasi Tatea Bulan, Dinasti Sori Mangaraja meneruskan pengaruhnya di Si Pirok. Secara de jure diakui oleh masyarakat Marga Siregar, Harahap dan Lubis. Secara mayoritas masyarakat marga Nasution juga memberikan pengakuan sehingga Dinasti Sisingamagaraja yang memerintah tanah Batak seterusnya, berpusat di Bakkara, tidak mendapat pengakuan yang menyeluruh.

1513
Kesultanan Aceh merebut pelabuhan-pelaburan pantai barat Pulau Andalas, untuk dijadikan jalur baru perdagangan internasional ke Maluku via selat Sunda. Bajak laut Portugis menutup dan melakukan aksi bajing loncat di Selat Malaka. Portugis mulai membawa kebencian agama ke Nusantara; diskriminasi agama diterapkan dengan melarang pedagang Islam melalui Malaka. Cina Islam, Arab dan penduduk nusantara menjadi korban pelecehan gaya Eropa.

Pengaruh internasionalisasi pelabuhan di Andalas, penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Pansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah menganutnya.

Kelompok Marga Tanjung di Pansur, marga Pohan di barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.



1513-1818
Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung.

Di Jerman, Kaum Protestan melepaskan diri dari hegemoni Gereja Katolik Roma.

1523
Orang-orang Eropa tidak sabar untuk menjarah Nusantara. Kesultanan Karo Muslim di Haru/Delitua dimusnahkan oleh kaum Portugis. Ratu Putri Hijau, yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja-raja Aceh, tewas. Sambil berzikir sang ratu diikat di mulut meriam lalu diledakkan. Kebrutalan perang diperkenalkan oleh bangsa Eropa.

1550-1884
Dinasti Sisingamagaraja (SM Raja) tampil sebagai otoritas tertinggi di Tanah Batak, menggantikan Dinasti Sori Mangaraja.

1581
Marga Rangkuti terbentuk. Terdiri dari orang-orang Jawa/Minang yang mengambil suaka politik di Mandailing akibat perubahan politik di Kerajaan Pagarruyung di Minagkabau.




1593-1601
Intelektual lokal mulai tampil ke permukaan. Abdulrauf Fansuri terkenal sebagai ulama dan intelektual di dalam ilmu fiqih, politik dan ilmu sosial lainnya.

Beberapa teorinya antara lain; Penghapusan perbedaan antara Kepala Negara dan Agama. Raja merupakan otoritas kerajaan dan juga agama. Dia mensyaratkan bahwa Raja yang akan memangku jabatan ini bukan turun temurun melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Teori ini kemudian diterima oleh Kesultanan Aceh dan jawa.

Aceh, dalam ekspansinya, menguasai Fansur dan menghancurkan kejayaan pelabuhan ini. Duaratus tahun setelah itu Dinasti Sori Mangaraja membangunnya kembali dan memberikan nama baru; Pelabuhan ‘Gosong’.

Eropa mulai bangkit melewati masa kegelapan. Ibarat bangsa kelaparan mereka berhamburan ke penjuru dunia untuk membangun negara-negaranya. Bangsa Inggris mulai membuat pertapakan pertama di Pelabuhan Tapian Na Uli di tepi teluk Sibolga. Titik ini sangat mendukung untuk pemenuhan logistik mereka untuk menjarah bagian-bagian lain di Nusantara. Ambisi jahat yang tidak bisa ditebak oleh penduduk lokal.

Budaya perbudakan mendapat eksploitasi yang parah oleh hadirnya pihak Eropa. Keramahan bangsa Batak di Batang Toru, Puli, Situmandi serta Sigeaon dimanipulasi, mereka kemudian diperdagangkan sebagai Budak.

Beberapa wilayah di Nusantara mulai ditundukkan dengan tipu muslihat Eropa. Perang antar kerajaan menjadi sangat intens; akibat Devide Et Impera. Belanda mulai memetakan target operasi mereka di tanah Batak setelah menguasai Jawa dan beberapa kerajaan kecil di Nusantara.

1790
Haji Hassan Nasution dengan Gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama yang naik haji di Mekkah.

1812 M
Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, menjadi orang pertama dari lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga, bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1816
Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah batak dengan misi; memetakan daerah serta kekuatan dan menentukan titik-titik penembakan artileri di pusat-pusat kekuasaan tanah Batak.

Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, panglima Paderi, meluaskan pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.

1816-1833
Islam berkembang pesat di Mandailing dengan pembangunan universitas, pusat-pusat perdagangan dan kebudayaan Islam.


1818
Panglima Fakih Sinambela berseteru dengan pamannya Sisingamangaraja X, Raja Dinasti Sisingamangaraja di daerah Batak Utara.

Elemen Eropa berhasil memetakan kekuatan Dinasti Sisingamaragaja. Salah satunya; Modigliani berhasil mencari info mengenai privasi Guru Somalaing, salah satu intelektual agama Parmalim, agama Batak saat itu.

Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera dimanipulasi Belanda sebagai kekuatan anti-otoritas SM Raja. Beberapa kerajaan-kerajaan huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi raja-raja boneka yang membangkang. Kredibilitas kedaulatan Sisingamangaraja di akar rumput menipis, dikempesi orang-orang Eropa.

Untuk kesekian kalianya epidemik penyakit menular menjangkiti penduduk. Elemen Eropa dan Belanda di pantai timur Sumatera memanfaatkan situasi.

1818-1820
Perseteruan Sisingamagaraja X dan Fakih Sinambela memuncak. Pasukan Fakih Sinambela dengan komando Jatengger Siregar berhadapan dengan pasukan Sisingamangaraja X di Bakkara setelah buntu dalam perundingan.

Markas Pusat di Siborong-borong dengan komando Panglima Fakih Sinambela memerintahkan pasukannya di Bakkara untuk menguburkan pamannya S.M Raja X di pemakaman kerajaan dengan pasukan kehormatan dan melindungi keturunannya.

Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah batak. Mereka mundur ke Selatan. Yang Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.

1820
Pembantu Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan di pantai timur Sumatera.

1821
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir Sumatera Barat seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Fakih Sinambela(Tuanku Rao) dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Fakih Sinambela gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasu kan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.

1823
Thomas Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh yang Islam dan Minagkabau dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus, menurut istilah Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.

Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkutta yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di India; Burma yang Budda serta Thailand yang Buddha harus dipisah dengan bangsa Karen yang Kristen.

Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;

Pendeta Burton yang bertugas menguasasi bahasa Batak dan menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak sebagai pemimpin misi.

Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penuakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk Batak.

Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.

Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di Tanah batak yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat kerajaan Batak.

1823-1824
Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi, sangat kuat dan tidak dapat disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya berhasil masuk melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas penduduknya muslim dan terbuka. Burton dan Ward berhasil memasuki Tanah Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas Inggris menetap berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan menyusup ke Toba, pusat kehidupan sosial masyarakat batak, Ward memberikan instruksi untuk mundur. Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan Ward mundur ke Sibolga. Dari sini ‘character assasination’ terhadap panglima-panglima Padri dilancarkan.

Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda menggantikan posisi Inggris di Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’. Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan Padri.

1830-1867
S.M Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Di beberapa wilayah dilakukan pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemen penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan dan meniadakan Kedaulatan Bangsa Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima; Bangsa Batak malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.

Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkar’ setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang memberikan dampat baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.



1833
Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler, di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.

1833-1834
Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang bergerak bebas di Tanah Batak

Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang menjadi bawahannya di pasukan tersebut, antara lain; Pendeta Verhoeven untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan belajar Bahasa Batak.

Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.

Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta dari Barmen untuk mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun 1880-1940, di belakangan “Reinische Missions Gesselschaft”, seluruh arus perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup mendekati 10 persen dari volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1833-1930
Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah beberapa usaha mempertahankan diri, gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai. Komunitas-komunitas diaspora batak di luar negeri terbentuk. Di Malaysia, Mekkah, Jeddah dan lain sebagainya.

1834
ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson, Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan jejak Burton dan Ward.

Lyman dan Munson memasuki toba dengan seorang penerjemah, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat, Raja Panggulamau menolak kehadiran mereka.

Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.

1834-1838
Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara permanen. Komplek markas Besar Belanda didirikan berikut taman perumahan para pemimpin militer.

1838-1884
Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing, Angkola dan Sipirok menjadi “Direct Bestuurd Gebied”, Raja Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar “Regent Voor Her Leven”.

Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis tahun 1973 dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan Toba tidak dapat berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah banyak yang pro Belanda.

1843-1845
Perbatasan Tanah Batak yang aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.

1845-1847
Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba. Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk. Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan pihak imperialis Belanda.

1848
Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.

1857-1861
Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.

Misi; gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggunr di Batavia, sejak diusir keluar dari Kalimantan Selatan oelh Pangeran Hidayat.

Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan pendeta Witteveen, pemimpin dari GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari perusahaan Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya Belanda dapat menguasai Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung sana.



1861
Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan rapat bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersamam pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.

1861-1907
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga unutuk menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.

Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:

1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.
3. Daerah Batak, Singkil, gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam Aceh.

Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:

1.Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di tanah Karo, Dusun
2.Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
3.Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
4.Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
5.Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.
6.Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan 7.kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.
8.Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah dan kepentingan ekonomi.
9.Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.
10.Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.

Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh dan orang-orang Batak Karo serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi, praktis, dikuasi Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah.

1863
Pendeta Nomensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah Batak Utara dimulai dan dikerjakan dengan sangat sistematis. Target ke selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang raja, pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja pertama didirikan di Hutadaman, Silindung. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1864-1866
Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh. Setelah wisuda, pangeran juga membahwa oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.

1867
Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan gelar Patuan Bosar.

Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi berduyun-duyun mendatangi Christian Community di Hutadame.

1867-1884
Sisingamangaraja XII selama 17 tahun memerintah di Bakkara. Menurut penulis sejarah pro Belanda, Sisingamangaraja memerintah dengan tangan besi, untuk mempertahankan “Singgasana Batak Pagan Priest Kings” yang sudah memerintah selama 12 generasi paska Dinasti Sori Mangaraja. Informasi ini tentunya untuk pengalihan perhatian orang-orang Batak di masa mendatang yang akan merasa kehilangan penguasa Batak yang mereka cintai.

Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara totaliter menentang Pemerintah Belanda, serta menentang infiltrasi dari Agama Kristen yang dibawa oleh pendeta-pendeta Jerman. Mereka menambahkan bahwa karena itulah orang-orang Batak yang sudah Kristen (dan lebih2 lagi yang sudah Islam) tentulah tidak mau mengakui seorang Batak Pagan Priest King.

Belanda, dengan dendam kesumat atas kewibawaan Sisingamangaraja XII, sengaja menanam bibit perpecahan dan pertikaian di masyarakat untuk dipanen oleh generasi Batak di masa mendatang. Paska Kemerdekaaan Indonesia, bibit itu melapuk dan tidak membuahkan hasil. Orang Batak hidup damai dalam toleransi beragama.

Raja Huta, Pontas Lumbantobing di Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).

Di tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar; Sekolah Dzending. Namun, demi misi imperialis, diskriminasi diterapkan. Anak-anak dari Sintua, tetua Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang harus membuktikan diri patuh terhadap Kristen. Orang-oranng tanah Batak Utara belomba-lomba menjadi Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).

Posisi Sisingamangaraja XII kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyatnya yang sudah Kristen karena sudah berlomba-lomba menjadi Sintua (idem).

Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran dengan Belanda, Ibukota kerajaan yang sudah ditandai oleh tim penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk pasukan Belanda. Serangan-serangan artileri memaksa Sisingamangaraja XII, dengan pengawalan khusus dari rakyatnya orang-orang Gayo yang menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan Kesultanan Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara sana. (1884-1907). Sementara itu panglima-panglimanya yang masih setia, melakukan upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.

1869
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pendeta Ellys di Mandailing menemukan beberapa hambatan-hambatan, serta penyebabnya, dalam misi pengkristenan. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)
Aliran Baptist, merupakan kelompok yang sangat sedikit di dunia. Baptist melepaskan diri dari Gereja Roma Katolik, lebih dahulu daripada Protestan dengan Martin Luther-nya pada tahun 1517. Baptis mengkristenkan orang-orang dewasa dengan cara menyemplungkan diri, seluruh badan, di dalam sungai. Seperti halnya oleh Johannes Pembaptis sebelum Jesus.
Amerina Baptist Misson dan British Baptish Mission tidak mau lagi mendanai Pendeta di Mandailing yang berpenduduk Muslim dan taat beragama.

Menurut Parlindungan, Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan tetapi di Ukraina terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang disebut; Mennoniets, karena mereka adalah keturunan dari Menno Simons. Baptist, Doopsgezinden, di Negeri Belanda habis dibasmi oleh Protestan, di dalam periode 1568-1648.

Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka dilindungi oleh Dinasti Romanov, karena kepandaian mereka di bidang pertanian dan peternakan.

Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia, mulai dari Selat Dardanella, sampai ke Vladiwostok. Romanov kemudian mengatur kepergian Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke Mandailing 1869-1918.

Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti dengan Gereja model Basilyk Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk “bawang” , 1869. Misi pendeta Mennoniet inipun berakhir karena jatuhnya Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum Komunis. Pendeta Iwan Tissanov, pendeta yang teakhir dari aliran ini kemudian pindah ke Bandung.

Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar Lubis, yang pernah merebut Toba dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah pimpinan Panglima Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, kemenakan S. M. Raja X, menjadi Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Salah satunya adalah Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.

1870 M
Peta politik populasi Tanah Batak:

Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10% lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan Baptist.

Di Tanah Batak Utara; 90% Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja (Parmalim atau Sipelebegu) dengan Sisingamangaraja sebagai Raja dan Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan, Maha Pencipta serta Maha Agung) sebagai Tuhan.

Sementara 10 persen lagi; Muslim dan Protestan di Silindung.

1873
Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.

Kesabaran Sisingamagaraja XII sudah menipis, tindakan ofensif ditingkatkan. Pertempuran Tangga Batu II meletus. Sisingamangaraja XII terluka, kena tembak dan berdarah. Belanda mengumunkannya ke seluruh penjuru. Tujuannya, agar hormat dan kepercayaan orang-orang Batak terhadap raja mereka, SM Raja XII, goyang.

Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan terdiri dari pasukan paksaan dari daerah-daerah jajahan lainnya; Halmahera, Madura dan Jawa, Belanda melumpuhkan kekuatan tempur SM Raja. Sisa-sia kekuatan hanya untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang (sekarang di Kab. Humbang Hasundutan) Bakkara dibombardir dengan senjata Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk melakukan serangan infanteri.

1881 M
Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di Laguboti ditempatkan Detasement Tentara Belanda. Pendeta Pilgram di Balige dan Pendeta Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang sudah menyerah dan tak berdaya. Sementara itu, tentara Belanda diperkuat dan Laguboti menjadi Garnizon Tetap.

Pasukan SM Raja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua pabrik senjata di kedua tempat tersebut, yang dibagun atas alih teknologi dari Kesultanan Aceh.

1882-1884
Sisingangaraja XII di ibukota Bakkara meningkatkan kewaspadaan mereka dalam sebuah upaya ofensif dan melakukan usaha mendeportasi elemen-elemen Belanda, yang menyusup jauh dan membeberkan kelemahan kerajaan, dan Pendeta-pendeta Jerman keluar dari wilayah kedaulatan Tanah Batak.

Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung untuk setiap orang yang memancung seorang pendeta Jerman dengan membawa bukti berupa kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Terutama Pendeta Bonn di Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah antara Bakkara dan Balige yang sudah terlalu dekat dengan pusat kekuasaan Patuan Bosar.

1883
Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku Lelo, menjadi pendeta. Tuanku Lelo merupakan salah satu panglima tentara Islam Padri yang merebut Bakkara di era S. M. Raja X.

Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta dari Marga Nasution. Ayah Tuanku Lelo merupakan Qadi Malikul Adil, Menteri Kehakiman di pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang naik haji ke Mekkah, 1790.

Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan serangan frontal ke Muara. Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan mengusir Belanda di Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya berhasil melarikan diri.

Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serang infanteri. Ibu kota Bakkara, hancur lebur.

S. M Raja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan khusus dari Aceh masih setia melindungi ‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.

Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri Lopian Boru Sinambela yang sejak usia 11 tahun selalu mendampingi ayahnya, S. M. Raja XII, Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang putri selalu melakukan ritual untuk memintakan pertolongan dari Debata Mulajadi Na Bolon.

Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma sang Putri di bendung dengan tangan besi. Pembicaraan mengenai S. M Raja dan putrinya akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat laun rakyat lupa kembali, apakah rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat terintimidasi untuk berbicara mengenai rajanya. Perang Ideologi.

1884-1905
Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan Air Bangis.


1884-1907

Sisingamangaraja XII, Pahlawan Nasional Indonesia dengan heroik meneruskan perang melawan penjajah dari Dairi. Tanpa sedikitpun bantuan dari orang-orang Toba di Silindung yang menyibukkan diri untuk menjadi Sintua agar anaknya diterima sekolah di Zending.

1905
Ibukota Keresidenan Tapanuli dipindahkan ke Sibolga.

1907
Pasukan Sisingamangaraja XII bersama panglima dan pengawal pribadinya dari Aceh terkepung di hutan belantara Dairi. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dalam upaya menolong putrinya yang terluka, Sisingamangaraja XII, gelar Patuan Bosar, Ompu Raja Pulo Batu, tewas diberondong Belanda. Jenazahnya dicincang dan dibuang begitu saja di hutan agar tidak dilihat oleh warga Batak yang pasti akan menimbulkan kemarahan besar. Menurut sumber lain, Jenazahnya dikuburkan di Balige atau Parlilitan. Masih perlu didebatkan. Keturunan S.M. Raja yang masih hidup ditawan dan dijauhkan dari masyarakat untuk tidak memancing pertalian emosi dengan warga Batak. Mereka di tawan dan dibuang ke sebuah Biara terpencil. Di sana mereka mati satu per satu. Menurut cerita lain, sebelum mati mereka sudah dipabtis.




1912
Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis.

Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al Azhar.

Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.

HKBP sendiri pernah menjadi gereja protestan terbesar di Asia. Para turunannya mendirikan gereja Angkola, Karo dan Dairi di berbagai tempat di Indonesia. Demikian pula di Kesultanan Langkat, para keturunan Jatengger Siregar gelar Tuanku Ali Sakti mendirikan ‘Lilbanaad College’.

1923
Arsip Bakkara diamankan pendeta Pilgram


1928
Jong Batak merupakan elemen sumpah pemuda. Orang-orang Batak tanpa beda wilayah, marga dan agama bersatu mengusir Belanda.

1945
Tanah Batak merupakan bagian dari Indonesia merdeka

BORHAT MA DAINANG & REALITA PERKAWINAN BATAK MASA SEKARANG


Borhat ma dainang! Pergilah kau, hai putriku! Momen itu terasa sangat sedih, berisak dan berair mata, dan mungkin karena itu jugalah selalu diam-diam dinanti-nantikan di setiap pesta perkawinan batak. Yaitu saat-saat orangtua pengantin perempuan akan menyelimutkan ulos membungkus tubuh menantu dan putrinya, dan seorang penyanyi batak dengan lengkingan suaranya mengiris-iris hati hadirin:
Borhat ma dainang Tubuan laklak ho inang tubuan sikkoru
Borhat ma dainang , Tubuan anak ho inang tubuan boru
Horas ma dainang , Rongkapmu helanghi, donganmu sari matua
Horas ma dainang , Di tongan dalan nang dung sahat ho di huta

Reff: Unang pola tangis ho, ai tibu do ahu ro
Sirang pe ahu sian ho, tondingki gumonggom ho

Mengkel ma dainang , Sai unang tangis ho inang martutungkian
Ingot martangiang , Asa horas hamu na laho nang hami na tinggal
Terjemahan bebas:
Berangkatlah, hai putriku , Melahirkan kulit kayu melahirkan jali-jali
Berangkatlah, hai putriku , Melahirkan anak laki-laki melahirkan anak perempuan
Selamat sejahteralah, kau hai putriku
Jodohmu, menantuku, temanmu bahagia lengkap

Selamatlah , kau putriku , Di tengah jalan dan nanti setelah sampai di kampungmu

Reff: Tidak usahlah kau menangis, sebab aku akan cepat tiba
Walaupun aku berpisah denganmu, rohku memelukmu.Tertawalah kau putriku

Janganlah kau menangis sampai merunduk
Ingatlah berdoa , Supaya selamat kalian yang pergi dan kami yang tinggal.

Mungkin dalam komunitas Batak, kesedihan yang berhasil ditimbulkan saat penyampaian ulos (selimut tradisional batak) kepada sang pengantin hanya bisa dikalahkan oleh ritus penyampaian ulos tujung atau kain tudung di peristiwa kematian. Yaitu ulos bernama sibolang dan berwarna biru gelap yang ditudungkan ke kepala seorang yang kematian suami atau istri sebagai tanda resmi menjadi janda/ dua. (Catatan: jaman dahulu di beberapa daerah raja-raja yang selalu punya istri lebih dari satu menolak menerima ulos tujung). Namun jika ulos pengantin diiringi lengkingan menyayat lagu Borhat ma Dainang, maka penyampaian ulos tujung disambut spontan lolongan tangis si janda dan kerabatnya. Tingkat kesedihannya mirip juga dengan ritus perpisahan di pelabuhan Belawan atau Tanjung Priuk saat KM Koan Maru atau Tampomas hendak berlayar. Sebab itu di pesta perkawinan, bukan hanya si ayah atau si ibu pengantin saja berlinangan air mata, tetapi juga semua kerabat dan undangan, bahkan raja-raja parhata yang dua kali seminggu menghadiri peristiwa serupa dengan suguhan menu khusus bir, acapkali juga tidak bisa menahan matanya agar tidak berkaca-kaca. Mengapa bisa?

Menurut penulis mungkin lagu Borhat ma Dainang ini di bawah sadar mengingatkan komunitas Batak kepada masa lalu kaum atau puak-nya dimana pesta perkawinan, terutama dari perspektif perempuan, seringkali sulit dibedakan sebagai puncak kebahagiaan atau justru awal kesengsaraan. Di masa lalu perkawinan bukanlah pilihan tetapi kewajiban. Pasangan hidup juga bukan pilihan pribadi yang bebas, diseleksi lewat masa berpacaran yang indah, tetapi seringkali ketetapan orangtua atau “nasib” yang tidak terelakkan. Jaman itu seorang perempuan yang kawin atau menikah biasanya harus pergi meninggalkan rumah dan kampung marga orangtuanya untuk selanjutnya tinggal di kampung marga suaminya yang jauh dibalik gunung-gunung, dimana sering tak seorang pun dikenal-mengenalnya di sana. Sementara itu penghargaan kepada perempuan sangatlah rendah. Perempuan masih dianggap sebagai objek, manusia kelas dua , alat dan mesin serba guna (pengelola rumah tangga , penerus keturunan , pekerja ladang dan pemuas nafsu seks). Dia mudah sekali menjadi korban kekerasan di rumahnya sendiri dan oleh suaminya sendiri dan dengan alasan tertentu bisa diceraikan atau dikembalikan (dipaulak) ke rumah orangtuanya sebagai janda. Sebab itu perkawinan logis sekali jika dihayati sebagai kehilangan rasa aman dan nyaman. (Perlu perjuangan berat kelak untuk mendapatkan kembali rasa aman itu.) Dalam konteks di atas tentu saja pesta perkawinan (bagi perempuan) adalah momen kesedihan atau “takdir” (bagian, jambar, turpuk) yang tidak bisa ditolak.

Adat Batak dari dulu-dulu sampai sekarang menganggap perkawinan adalah perundingan dua marga sehubungan dengan serah-terima seorang perempuan dari marga ayahnya kepada marga suaminya. Sentrum atau pusat pesta adat pernikahan sebab itu bukanlah pengantin tetapi para laki-laki mewakili dua marga yang duduk berhadap-hadapan melakukan perundingan itu, merekalah yang sekarang kerap disebut raja parhata. (Jaman dahulu pengantin disembunyikan dalam rumah ditemani kawan-kawannya jauh dari orang banyak, sementara sekarang dipajang di panggung). Walaupun banyak puak Batak mengingkarinya, namun sulit ditampik bahwa perundingan itu mirip dengan transaksi jual-beli dengan tawar-menawar harga di sana-sini. Istilah-istilah kunci dalam perundingan perkawinan itu adalah gadis (jual), tuhor (beli, harga), pangoli (pembeli), nanioli (yang dibeli), sinamot (pendapatan), upa tulang (komisi paman). Istilah-istilah itu masih dipertahankan sampai sekarang dan pengamatan penulis kayaknya juga belum mengalami perubahan makna secara signifikan.

Mengingat semua hal di atas wajarlah kalau jaman dahulu di kampung, si pengantin perempuan menangis, terutama saat dia diantar oleh kawan-kawan gadisnya ke batas kampung meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke dunia asing yang tak terperi. (Dulu konon di kawasan Angkola ada tradisi pengantin perempuan yang baru menikah akan menyanyikan lagu andung-andung atau ratapan saat hendak pergi meninggalkan kampungnya, yang isi pantunnya seakan-akan menyesali ibunya yang “tega” menjualnya demi mendapatkan uang mahar atau sinamot).
***
Dengan hormat tulus kepada pencipta lagu “Borhat ma Dainang” (saya yakin sang pencipta bukan saja tidak pernah menerima royalti atas lagunya tetapi bahkan tidak dikenal oleh masyarakat Batak, sebab materialisme membuat orang Batak lebih menghargai ciptaan dari sang pencipta), saya mengatakan lagu itu bagus. Kata-kata dan iramanya yang pedih bisa membuat air mata ini bercucuran. Sebab itu yang hendak saya pertanyakan hanyalah masalah penggunaan lagu tersebut di even pesta perkawinan atau pernikahan batak abad ke-21 - ketika dunia termasuk yang didiami komunitas Batak sudah berubah secara total dan mendasar. Konkretnya: apakah lagu andung (ratapan) yang merujuk ke praktek perkawinan di masa lalu itu cocok atau pas dipakai mengiringi pemberian ulos tanda doa dan restu orangtua kepada pengantin batak moderen?

Mayoritas orang Batak sudah tinggal di kota-kota besar. Berbeda dengan kampung-kampung tradisional Batak (dimana tanah identik dengan marga), kota adalah tempat tinggal bersama. Sebagian besar pengantin perempuan setelah menikah masih tinggal sekota, sekecamatan, atau se-real estate dengan orangtuanya. Juga masih segereja. Teknologi komunikasi maju membuat pengantin dan orangtuanya masih bisa telpon-telponan dan sms-sms-an tiap jam. Lantas kenapa masih menyanyikan: Borhat ma dainang? Yang lebih lucu jika pengantin setelah menikah ternyata malah tinggal menumpang di rumah orangtua si perempuan. (Bercanda, harusnya yang dinyanyikan: Hatop ma borhat daamang!) Lantas bagaimana pula kita harus memaknai lagu Borhat ma Dainang di pesta pernikahan jika faktanya (banyak) si anak perempuan bertahun-tahun sebelum menikah memang sudah “pergi merantau” dan hidup mandiri di kota-kota? Di sinilah kembali kita menemukan bahwa komunitas Batak memang sering kali tidak melihat situasi dan kondisi dan cenderung hanya mengikut mengekor saja kepada apa yang dianggap biasa atau lazim, apalagi diberi label “adat”.

Namun ada lagi menurut saya persoalan lebih serius. Lagu Borhat ma Dainang, baik kata-kata maupun iramanya sangat muram. Pertanyaan saya: mengapa di sebuah even yang seharusnya penuh sukacita dan tawa bahagia - apalagi di saat khusus orangtua pengantin hendak menyampaikan ulos tanda doa restunya mengapa banyak orang justru sengaja memilih lagu yang sangat pilu itu sehingga menjadikannya drama menguras air mata? Seorang teman mengatakan lagu itu pas sekali dengan suasana hati si orangtua pengantin perempuan yang sebenarnya berat dan hampir tidak ikhlas melepaskan putrinya. Mungkin tanpa membaca teks lagu, seorang teman lagi mengatakan lagu Borhat ma Dainang mengekspresikan rasa haru bercampur bahagia si orangtua yang merasa telah berhasil mengantar putrinya kepada kedewasaan penuh (ingat: orang batak masih menganggap pernikahan adalah ukuran kedewasaan!). Sebagai seorang ayah yang juga memiliki anak perempuan saya tidak menyangkal perasaan-perasaan bahagia bercampur-aduk haru, harap dan cemas dari orangtua si pengantin perempuan. Namun bagaimana pun juga perkawinan adalah momen bahagia dan gembira. Orangtua yang arif dan penuh cinta pastilah (di tengah perasaan sunyi hatinya yang terdalam sekali pun) akan tetap berjuang mendukung kebahagiaan putrinya bersanding dengan orang yang dicintai-mencintainya. Tapi alih-alih berusaha tegar dan ikhlas agar tidak merusak momen paling berbahagia dari pengantin, banyak orangtua batak justru terisak-isak dan karena itu mendorong putrinya menangis terisak-isak juga. Ada apa gerangan dibalik semua ini? Apakah di lubuk hatinya si orangtua tidak yakin putrinya sedang dan akan bahagia bersama pilihannya sendiri? Apakah komunitas ini sedang meramal (martondung) bahwa perkawinan ini pun akan dipenuhi air mata kelak, seperti banyak perkawinan-perkawinan sebelumnya? Dao ma na so tama. Jauhlah celaka! Pertanyaan ini terpaksa terlontar karena sebagai pendeta di gereja batak saya cukup banyak melihat perkawinan dan rumah tangga batak-kristen yang bermasalah dan tidak bahagia. Sebagian diantaranya diakibatkan karena orang Batak hanya sibuk mempersiapkan pesta dan bukan rumah tangga sesudah pesta itu usai.

Dalam kelana permenungan yang semakin jauh, tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya: jangan-jangan konsepsi perkawinan batak belum ada yang berubah walaupun jaman sudah maju. Jangan-jangan orang Batak walau pun Kristen dan moderen - dalam hal menghayati perkawinan dan hubungan laki-laki-perempuan - masih sama saja dengan ompung moyangnya sebelum Belanda masuk dengan pameo khas “holan inang do na so boi tuhoron, anggo inang-inang boi do tuhoron” (hanya ibu kandung yang tidak bisa dibeli, istri/gundik bisa dibeli). Seandainya, semoga saja tidak, itu yang terjadi memang pantaslah kita menyanyikan andung-andung atau kidung ratap di pesta perkawinan batak masa kini. Sebagian untuk meratapi nasib perempuan batak yang tidak kunjung membaik dan sebagian meratapi ketidakmampuan gereja membaharui konsepsi adat batak tentang perkawinan dan kegagalan gereja mempersiapkan warganya membangun rumah tangga bahagia. (catatan: di gereja batak sampai kini tidak ada katekisasi pernikahan, dan itu juga salah satu sumber celaka itu. Jika ada itu hanya inisiatif pribadi si pendeta!)
***
Dalam Alkitab, yang semoga sungguh-sungguh menjadi Kitab Suci orang Batak Kristen, lembaga perkawinan telah dikuduskan dan diangkat menjadi lambang kasih dan kesetiaan Tuhan dengan umatNya. Yesus sendiri secara radikal menolak perkawinan sebagai transaksi properti, sebaliknya Dia menjadikan perkawinan sebagai persekutuan dua pribadi yang setara dan saling mencintai sampai mati. (Sebab itu bagi Yesus perzinahan bukan lagi sama dengan pencurian/ kehilangan properti tetapi pelanggaran komitmen pribadi). Dalam perkawinan kristiani yang pertama dan terutama bukan lagi perundingan keluarga atau marga, tetapi ketetapan hati kedua pribadi untuk bersama-sama bahagia yang diikat dalam suatu perjanjian kudus di hadapan Allah dan jemaat. Sebab itu adat dan perjamuan resepsi yang dilakukan seharusnya ditujukan melengkapi dan memperkaya sukacita dan kebahagiaan kedua pengantin, bukan untuk mementahkan kembali perjanjian kawin atau nikah kudus mereka dan membuat semua orang bersedih tak jelas.

Kembali ke lagu “Borhat ma dainang” dalam pesta perkawinan, saya ingin mengutip Matius 19:5 dimana Tuhan bersabda “laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging”. Ini aneh atau luar biasa! Sebab jika orang banyak termasuk Batak mengatakan perempuanlah yang meninggalkan ayah ibunya maka Yesus justru mengatakan laki-laki yang harus meninggalkan rumah ayahnya agar dapat bersatu dengan istrinya dalam “satu daging”. Kata satu daging sebab itu menunjuk kepada persekutuan yang sempurna intim, otonom, tunggal dan final. Itu artinya jika kita masih mau mempertahankan perkawinan (= pernikahan) sebagai suatu kepergian atau keberangkatan maka harus diartikan dua pihak. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama harus keluar dari masa lalunya dan membentuk rumah tangga baru yang bahagia. Pada akhirnya: lantas lagu, amanat dan doa apakah yang paling cocok untuk mendukung sepasang keluarga muda yang hendak membangun rumah tangga bahagia selamanya?
Horas

Oleh Pdt.DanielT.A.Harahap
(seorang pendeta hkbp yang sepanjang tahun banyak menerima pengaduan terjadinya kekerasan domestik dan kegoncangan rumah tangga muda kristen-batak-kota)

Senin, 24 September 2012

SILANGKUA NI PEGE

Narobi ni narobi adong ma sada huta margoar ‘Dolok Maralit-alit’. Pandaraman ni parhutaon marhauma do huhut tu tombak mangalului Gota, Damar, Hotang dohot angka na asing. Laklak ni hau do disorha mambahen bonang, ditonun ma gabe ulos na laho pangkeon ni pangisi ni luat i, ala ido dope na masa tingki i.

Ia hutaon ndang sadia dao sian tombak, adong do hasomalan parsobanan, parsungkitan ni angka naposo sian hutaon. Dung sidung marbabo, ulaon ni angka unan nang na marbaju, somal do laho tu tombak mangalului pandan. Diletek ma i mambahen lage dohot tandok.

Ia di hutaon adong ma sada na marbaju tung nauli do rupana si Langkua Ni Pege do goarna. Alani hona ni parsisigatonna runsur lanok sian obukna, ala ni landitna marhilong-hilong songon habong jentur, ima diandungkon amani purbahollung. Jala uli ni hurumna ipe songon na hinombu-hombu, rungkung na songon pangaritipan tobu huhut dililiti singkoru2 dohot hinohopanna songon antajau namongkal, tu bitis patna songon dengke namangolu, domu tu pardalanna i songon limbat namangolu.

Tung sae do hinauli songon suru-suruan bidadari ma, hohar doli-doli huhut marsigulut pasahat tona mangido napuran tano-tano rangging marsiranggongan anggiat tondi marsigomgoman di roha ni doli2 na sai humoli-humoli. Dina sahali laho ma si Langkua ni pege dohot donganna namarbaju ni huta i tu tombak mangalului sungkit, gabe udur ma nasida 7(pitu) halak.

Dina mardalan i sahat ma nasida tu tombak, si udur-udur do nasida tu dolok tu toruan songon anak ni dengke di ambar na mardalan mambuati bulung sungkit dohon mambuat pandan on. Lam leleng lam dao ma masuk halak i tu tombak asa lam gumodang dapot sungkit on. Alai anggo si Langkua ni pege maos mammiliti do ibana, ai dibuat nasada dipalua na sada, ganup ditiop-dipatudos tu na sadanari, sai umuli do sian na tiniopna parjolo. Sai songon ima si Langkua ni pege marlojong tusan-tuson, gabe tarsirang ma ibana sian donganna sionom halak i.

Di tombak i sai songon na adong do ro tu rohana mandok asa sai tuson ho..tuson ho ro, hape naung tartait hosa ni ulok Saniang Naga do ibana tumopothon lubang ni ulok na sohaluluan jolma manisia. Dina guling ari marsijouon ma halakki, asa mulak nasida tu huta, hape naso panagaman di ida ma si Langkua ni pege ndang adong. Dipio ma gogo didia doho Langkua ni pege..beta hita mulak nungnga botari, dialusi sahali ‘dison do ahu’, tep..disoro ulok Saniang Naga ma ibana diboan ma tu liang na, martariak ma ibana: Tolong..tolong ninna. Disi dibege sionom halak i, dilojongi ma naeng mangalului, hape lam dao soara ni si Langkua ni pege on. Ai nungnga sahat be halakki tu liang ni ulok i, dungi marsak ma sionom halak i jala tumatangis. Hatop ma mulak nasida paboahon barita i tu huta tu ama-ina ni si Langkua ni pege.

Disi dipatorang na marbaju i namasa i, marsak situtu do natoras ni si Langkua ni pege on, dungi dijou ma pargondang asa dipalu gondang marsomba tu sombaon na di tombak i asa dipalua sombaon i boruna na tinangkupna i, alai luhutna dang marlapatan usaha ni halak i.

Leleng ni parlelengan ia si langkua ni pege dipiara ulok ido ibana bahen donganna ndang dipalua sian liang i. Ditarui ulok i do sipanganonna, dia na lomo ni rohana dilehon do. Leleng di parlelengan sabam ma rohana disi ndang diingot be soroni arina na pinarmudu ni ulok naga i ibana. Naso pangkiriman nunga haduk anggo dipardangingon ni si Langkua ni pege, ai ndang sadia lelangnai gok ma di arina, topakma ulok sian ibana, pitu ulok sahali tubu ditubuhon ibana.

Disi di ida si Langkua ni pege songon i tubuna, mangandung ma ibana mangopas soharu tu talaga, soharu tu halanghulu, huhut ma diandunghon sambor ni nipingki..Oee bagian lampiang di simangarudok lapung i, ai pitu-pitu sahali tubu ulok lapa-lapa sian butuha jea on, jadi roma hata ni ulok i: O ale boru ni rajanami, parsaulian do i diho, unang marsak roham unang burai dirim. Ida anakmi pitu sahali tubu, nda nunga martua jala sumurung ho sian donganmu jolma? Patur-ture ma inang unang mandele ho ninna, huhut dililiti ulok i si Langkua ni pege paboa lasniroha na.

Pitu taon pitu bulan ma si Langkua ni pege di liang inganan ni ulok i, tarsingot ma ibana tu ama-ina na, asa naeng paebatonna tubuna itu huta ni natorasna i di Dolok Maralit-alit. Jadi dipangido ma tu ulok i: O ale ulok amani dakdanakon, pitu-pitu anakmon sian au nda tama paebatonku tu damang? Beta ma hita laho sonang do rohangku mardongan ho, pos ma roham asal ma laho hita tu huta ni damang. Hupaboa pe tu damang, hodo sapartinaonku arian nang borngin, ninna si Langkua ni pege tu ulok i.

Singkat serita, dipasingkop ma balanjona di dalan laho manopot hu huta ni amana di Dolok Marali-alit, dungi borhat ma nasida sisia halak i mardalan tu huta . Nang sian nadao nungnga dibereng parhuta i ma halak i, masipaboahan ma parhuta i..Nunga mulak si Langkua ni pege, Oee nungnga mulak ibana..disi sahat di harbangan ni huta i, di ida ma tutu nunga ro rap dohot ulok i, tarsonggot ma natoras na mandapothon ibana. Unang mabiar hamu marnida ulok on, ulok sipartogi do i ndang siboan jea i parsaulian do binoan ni di hitaon, ninna si langkua ni pege.

Dihaol ma boruna jala di ummai alani siholna dung leleng ndang dibereng. Dungi rap ma nasida laho tu huta udur dohot ulok i, ia ulok i pulik do dibahen inganan na ndang domu dohot juara natorop naro mamereng si Langkua ni pege i. Dung manang adong piga ari halak i di huta i, laho ma si Langkua ni pege tu batang aek namamolus sian toru ni huta i, naeng maranggir marningot hasomalanna di tingki haposoonna laho patiar-tiar obukna namarhilong-hilong i.

Alai anggo Ulok Saniang Naga nabolon i dohot anakna napitu i laho do tong tu batak aek maridi, di tingki na marlangei ulok i mansai godang do jolma mamereng sian nadao, leleng do antong maridi ulok i. Hape..longkang ma sisik ni ulok i sian daging na, jala ulok i pe mangililu ma gabe jolma manisia. Alai anggo sisikna i gabe mas dohot perak marmaupan di batang aek i, lopus sahat tu paridianni si Langkua ni pege, dipapungu ma mas & perak i, jala diboan ma tu jabu. Longang ma halak sude marnida naung gabe jolma ulok i, mulak ma nasida tu bagas rap dohot si Langkua ni pege, dungi marpesta ma halak i, digokkon ma saluhut parhuta i manghalashon basa-basa ni marhuaso siboan tua i, di nasida.

Dung i sonang ma si Langkua ni pege diparsaripeonna jala mamompari ma selamat panjang umur sahat tu nasarimatua ndang hurang manang aha ibana. Songon ima turi-turian ni si Langkua ni pege ‘Simanuk-manuk jala sibontar andora, ndada sitodo turpuk siahut lomo ni roha, bagian do sijaloon”. (oleh: B.K.Marpaung, 1954).

SI MORSADAROHA DOHOT SI MORSADAUHUM

Adong ma najolo sada namorgoar Ulubalang Mortombuh Hobol, dua do anahna. Ia goarni si hahaan i, i ma Si Morsadaroha jala goar ni na tinodohonna Si Morsadauhum. Na jahat situtu do Ulubalang Mortombuh Hobol morroham, na gogo do ibana mangonsop mudar ni nanirajaanna. Ndang pola sadia leleng nari mate ma Ulubalang Mortombuh Hobol jadi tu anahna na dua i ma dipasudolhon angha raja dohot angka na sangap pambahenan ni amana na hinan, dipambuat ma nasa ugasanna ro di haumana singhat ni arta na binuat ni raja na hinan sian angka nasida.
Jadi morsinghor ma Si Morsadaroha dohot Si Morsadauhum patolu ibotona Nantapi Surat Tagan, soadong be hangoluanna. Dung songon i porsuh ni naniahapnasida i dipahombarnasida ma dirinasida tu angha porjahat, manangho i ma nasida tu ladang ni halah asa adong panganonnasida.
Alai di na sadari dibongotinasida na dua ma bagas ni namora, jadi jumpangsa masian bagas i godang ringgit. Dung i ro ma hata ni si anggian i tu hahana i songon on, ‘’Tabagi ma hepengta i ale hahang asa masipeop di ibana be hita, asa laho be hita masitopot lomonta masipaunean, anggiat adong manang ise na asi roha na olo manjanghon hita,’’ ninna. Jadi didok hahana i ma, ‘’Lehet ma tutu pinghiranmi ale anggi, tabagi ma hepeng i alai inghon bahenon do di ahu upa sihahaan.’’ Alai ninna SI Morsadaniuhum ma, ‘’Palias ma hatami ale hahang! Inghon dos do hita, ai ndada dia imbarni sihahaan mortimbanghon sianggian balik tahe sumurung ahu nian tama. Ai di isara bagion arta tinadinghon ni ama, sai siampudan do hundul di jabu bona jala sianggian panutuan. Ndang arta na tinadinghon ni ama sibagion i na dapot do ala ni i inghon dos do hita.’’
Jadi guntur ma nasida pagulutgulut hasurungan i pola moruhum tu jolo ni raja. Alai nanggo sada raja ndang adong na olo mambahen uhum na tinghos tu nasida ai sai na hurang mago do nasida di roha ni angha raja i morningot uhum na roa na binahen ni raja nahinan.
Dung sai gulut nasida ala ni jambar hasurungan i, ditopot Si Morsadaroha ma ianantuana, didok ma tu ibana, ‘’Ua boti ma i inang, oloi ma na hudok; ho ma manguhumi hami dohot angginghu, nunga loja hami tole harugian nunga godang. Jalo hian ma na upam 20 ringgit!’’ Jadi didok inantuana i ma, ‘’Ba beha ma bahenonhu manguhumi hamu?’’
Dung i ninna Si Morsadaroha ma mangalusi, ‘’Nunga hupauli ingananmu di punsu ni hariara na di adaran an, di si ma ho modommodom asa ro hami anghin dohot angginghu mangido uhum, sian porsimangotan ma ho mangalusi soaranami. Alai tabahen hian ma padanta, ia ahu do na ro mortonggo manang dia na husunghun i tu porsimangotan, tolopi ma hatanghi. Alai molo Si Morsadauhum do na mandoh hatana, manang dia pe didoh sip ma ho unang alusi!’’
Jadi mangoloi ma inantuana i di poda ni anahna i, dijalo ma ringgit upana i, dung i ,anaeh ma ibana tu hau i. Dung morujung panghataion ni Si Morsadaroha dohot inantuana i ditopot ma anggina Si Morsadauhum, didoh ma, ‘’Boti ma i anggi, ndang adong agi aise sian hita na patalu roha. Tapele ma jolo simangot ni amanta di hariara na di adaran an jala tu nasida ma tapasingothon gulutta on. Alai manang hata ni ise sian hita na dua na dialusi porsimangotan jala ditolopi hata na sinunghunna, unang be ho manjua mangalehon di ahu hasurungan. Ia hatam do na ditolopi annon ndang be manjua ahumorbagi hepeng i di uhum dos. I pe laho ma hita tu bona ni hariara an asa tasunghunnasida morhite sian pelean asa didabu uhum na tinghos di hita na morsadaina.’’ Burju roha ni sianggian i, dioloi ma hata ni hahanai.
Asa dung sahat nasida ro di bona ni hariara i, ditibalhonnasida ma hasea ni pamelean i, morsorin ma nasida jongjong manjouhon soarana tu simangot ni amana. Songon on ma didoh Si Morsadaroha, ‘’Ale simangot ni damang simangot ni dainang! Tangi hatanghon, tubu porsalisian di hami na morsadaina taringot tu bagian jambar ; hudok inghon marhasurungan ahu di hepeng na dapothami i gabe manjua angginghu. Laho pagulutgulut hasurungan i nunga godang ruginami. Ala ni i do umbahen na ro hami sadarion asa dipatinghos ho uhum di hami na morsadaina unang sai gulut.’’
Dungi dialusi na niupaan ondeng ma hata ni Si Morsadaroha i, didoh ma, ‘’Sintong do na nidohmi ale amang, sai inghon mortanda do anah sihahaan nang di bagian jambar.’’ I ma didoh.
Dung dibege Si Morsadauhum soara i longang ma rohana. Ala ni i pintor hehe ma ibana manjouhon soarana songonon, ‘’Ale simangot ni damang, simangot ni dainang longang do rohanghu mornida hamu. Ianggo morningot na dung nian tung na so hea do hamu porsimangotan mangalusi dijou na manjou. Ala gulut ahu dohot dahahang hupelehami ma hamu di son gabe mangalusi ma ho. Molo na tutu do ho porsimangotan na mangalusi i unang mordinghan panguhummu. Pardosdosan hupangido sian dahahang gabe dijua, ala ni i angat ma hudoh na binahenna i. Nuaeng pe molo porsimangotan ma ho na dia atas ni hau on timbang ma hatanami be uhumi ma hami!’’
Jadi sip ma na niupaan i, ndang mangalusi, pola tolu hali sai dijouhon soarana ndang dialusi. Ala ni i muruh ma SI Morasdauhum, dialap ma tanghe ditaba ma hau i sian muruhna. Mornida i na niupaan manjoujou ma ibana huhut sombasomba, didoh ma, ‘’Sombanghu di ho ale Morsadauhum unang muruh ho mida ahu, ai na sinuru do ahu tu son na niupaan do ahu!’’ Jadi sohot ma ibana na manaba hau i jala dipasurut ma dirina sian i.
Jadi diida Nantapi Surat Tagan ma halojaan ni ibotona na dua i, mangulahi ma ro hatana paingothon songonon, ‘’Nunga loja hami hinorhon ni pangalahomuna i. I pe masipaombun rohana be ma hamu jolo, hailahon hamu ijur ni halah. Mol osai morbadai hamu, ndang tagamon jumpang hamu hasonangan ni rohamuna. Dibahen i ale ito Morsadaroha patalu ma roham! Inghon bulung pala do roha tu bulung palia; inghon mardos ni roha do halah na morhahamoranggi jala na morsadaina asa gabe jala sarimatua.’’
Alai ninna Si Morsadaroha ma mangalusi, ‘’Palias ma i bai to hatamuna i! Anggo tung so marhasurungan do ahu di hepeng i, tung na so olo do ahu.’’
Jadi marsah ma roha ni Nantapi Surat Tagan mornida porrohaonna i, jadi dilului ma anghal patunduhhon rohanasida i; dibahen ma ibana songon na morsahit. Jadi ditonahon ma ibotona na dua i asa ro nasida manighir sahitna i. asa dung ro nasida, didoh Nantapi Surat Tagan ma, ‘’Ia ahu ale angha ito na laho mate nama ahu, ai huipi naborngin ro ma amanta dohot inanta na hinan manahiti ahu, diantuhinasida ma tanganhu na dua on jala luhut do daginghu ndang adong na so marngilutan. On pe sai morsada ni roha ma hamu jala masipaolooloan. Alai boto hamu ma, ia mas ape tu ahu na songon i sian na dung niida nasida do arsah ni rohanghu na sailaonna i ala ni pangalahomuna. Asa sitaonon i do dalannasida mangalap ahu tu lambungna umbahen dipasonggopnasida i tu ahu.’’
Jadi dung dibegenasida hata ni ibotonasida i, didoh Si Morsadaroha ma hatana, ‘’Antong ale ito, sai hipas ma hamu! Anggo ala ni bada on do umbahen na songon i pambahen ni amanta dohot inanta na hinan tu hamu, sai peut ma sahit i sian hamu jala tanggal; asa dibotohamu na olo do hami paingoton asal ma mangolu hamu; manduda ahu arian morsimomo ma ahu nuaeng, apala manjua ahu nasailaon di podamuna anggo nuaeng tung huoloi nama. Nunga diombun bulan diombun ari rohanghu nasailaon, on pe doh hamu ma uhummuna asa soang hami.’’
Jadi didoh Nantapi Surat Tagan ma, ‘’Molo na dung manghilalahamu di halojaon hinorhon ni roha na so morsipaolooloan, antong dos ma bahen hamu porbagi ni hepeng i unang ma morsisurungi ia naeng dope ahu mangolu di rohamuna laho patureturehamu jala asa sahat tu hamu pasupasu ni ompunta Debata songon nidoh ni porende na malo, ‘’Dangirdangir ni batu pandahdahan ni simbora; saut ma gabe jala mamora madingin molo hamu masipaolooloan jala morsada ni roha.’’
Dung i dioloi nasida ma tutu hata ni ibotonasida i, dibagi dosdos nasida ma hepeng i jala mordenggan ma nasida huhut morsisesaan dosa. Dung diida Nantapi Surat Tagan na dung mordenggan ibotona i jala mangoloi poda asa disuru ma Si Morsadaroha mambuat taoar na peah di pangumbari i jala didohon daishononna tu dagingna asa malum sahitna i. Jadi tutu sonang ma nasida di hangoluaon on.

PIDONG IMBULUMAN

Salpu arga lima dung mulah Si Talagalang tu bagasna, morhorja ma Dungdang Soaloon jadi morsambil ma Si Talagalang di tataring ni bagasna, disuru ma natorasna manjaga sambilna i songonon ma didok, ‘’Ale inang, jagai ma jolo sambilhon! Naeng laho dope ahu morhutasada nanggo manang piga ari on. Alai molo dapotan sambil on, pangolu ma nadapot ho i bahen ma tu huruhuruan na sanghot di bonggaran sotung dipangan ho na dapot sambil i!’’
I ma didok tu natorasna i.
Alai didok natorasna i ma, ‘’Aha ma dapot on pidong? Martua di balian do panambilan ni pidong ndang hea di bagas. Tung diboto pidong ma ro tu bagas on? Ai mabiar do i mida jolma.’’
Dung i ninna Si Talagalang ma tu inana i, ‘’Oloi ma na hudok manang dapotan pe manang so dapotan sambil on sotung dilehon ho pidong i tu halah na ro manginjam! Atik beha impol matana mornida denggan ni pidong i pahanpahanonna. Nang tung gogo dibahen halak mambuat na dapot ho i sotung dilehon ho! Tung tagonan do ho rap mate dohot pidong i asal ma unang dilehon ho tu halak.’’
‘’Olo!’’ ninna inana i.
Dung i laho ma ibana manopot sitopotonna. Morpulut ma Si Talagalang jadi godang ma dapotsa pidong. Dipambuat ma nasa imput ni pidong na dapotsa i jala dipangalohothon ma i tu dagingna. Dung lohot nasa ragam ni imput ni pidong i di dagingna mortonggo ma ibana tu Debata asa dipaimbar jolo pordagingonna. Mangoloi ma Debata mangalehon songon pinangido ni Si Talagalang, gabe pidong ma ibana morrupahon pidong imbuluman. Dibongoti pidong i ma jabuna jala ditondong ma sambil na tinaonna i jadi dapot ma. Ro ma inana, dibuat ma pidong i dipabongot ma tu huruhuruan na di bonggar i, disarihon ma dohot hangoluanna. Dung di bonggar pidong imbuluman i, sai humatiltal ma pidong i huhut manghulinghuling sian las ni rohana idaon.
Jadi di na sadari ro ma na nialap ni horja i, morroan be ma dohot paninondur. Andorang morodorodor paninondur i, manghuling ma pidong imbuluman di bagasan hurhuruan i songonon ma didok, ‘’Nanggar jitjit rangga wowo inang, turtu-tu-tu-tu, inang tiritio,’’ i ma didok. Umbege soara ni pidong i angka pamolus longang be ma rohana huhut ma didok, ‘’Mortua ma sogot Si Talagalang bahenon ni pidong na i, ai ndang tagamon so tuhoron ni halak be i sian ibana arga.’’
Sai didatdati pidong i do manghuling jala mimbarimbar dibahen soarana. Dibaritahon pamolus i ma hajagaron ni pidong i tu Dungdang Soaloon ro di panghulingna. Ala ni i dijujui natorop i ma ibana manginjam pidong i asa riburan halah di horja i. Jadi laho ma ibana, ditopot ma hahana boru i, didok ma, ‘’Ua lehon ma jolo huinjam pidong horjanta i!’’
Dung i didok boruboru i ma, ‘’Hata ni anahta tu ahu, tung na so jadi pinjamhononhon pidong i atik beha mago maon dibahen panginjam; ahu do hona hata bahenon ni anahta.’’ Alai ninna Dungdang Soaloon ma, ‘’Pos ma roha ni dahahang, lehon ma pidong i huboan! Molo mago, hudangdang; ua luhut nasa artanghu singhoram ni i asal ma dilehon ho boanonku.’’
Jadi dipasaksihon boruboru i ma hata i tu angka jolma na pungu i jadi dilehon ma pidong i boanonna. Dung diboan pidong i, dibahen ma tali panambatna tu urur, dipaeat ma ibana di bonggarbonggar asa saluhut halah mornida rupa ni pidong i. Uju manghuling gondang i manortor ma pidong i huhut manghulinghuling. Sai dompak pisong i do luhut mata ni luhut paninondur i. Dung sip soara ni gondang i, manghuling ma pidong i songonon, ‘’Manatmanat ale amang panginjam sotung halonglongan ho! Nanggar jit naggar jit, rangga wo rangga wo, inang turututu inang turututu, inang tiritio inang tiritio. »
Umbege soara ni pidong i natorop i morsurak ma nasida, morgarapas ma pidong i sian eatanna, tos ma tali pangarahut ni pat na i dirunta, morpupur ma pidong i laho tu lomo ni rohana. Mornida i Dungdang Soaloon tarhatotong ma ibana huhut manderse, ai na laho mago nama ibana bahenon ni Si Talagalang ia dung ro ibana sian porhutasadaanna.
Ianggo pidong imbuluman ondeng, martonggo ma ibana tu Debata asa ditongos jolo sian banua ginjang udan tipotipo. Saut ma ro na pinangidona i jadi moridi ma ibana, longhang ma sude nasa imbulu ni pidong sain dagingna, sumuang ma ibana gabe jolma. Dung i muli ma ibana mandapothon jabuna. Dung sahat ibana ro di bagasana, disunghun ma inana i manang na dapotan do sambil tinaonna i.
Jadi dipatorang inana i ma pangalaho ni pidong na dapotsa i dohot panghataionnasida dohot Dungdang Soaloon din a laho manginjam pidong i ibana. Torang ari morsogot na i, ditopot Si Talagalang ma amangudana i mangido pidong na i mulah tu ibana. Tarhohom ma Dungdang Soaloon ai nunga mago pidong so dapot be luluan. Ala ni i didok ma hatana soara eleh, ‘’Beha ma bahenon ale amang? Nunga mago pidong i. i pe dok damang ma manang sadia asam ni pidong i asa hugarar.’’
Dung i didok ma mangalusi, ‘’Tanda amang niaritmu, ingot binahenmu, inghon pidong i do mullah tu ahu!” ninna. Jadi sip ma amana i. Alai ninna Si Talagalang ma, ‘’Unang hamu sip, alusi hamu na hudok! Buat hamu ma pidong i, asa muli ahu!.
Jadi didok angha na hundul i ma hatana manosoi Si Talagalang, manjalo singkat ; ai nunga tanghas diboto tung na so dapot Dungdang Soaloon be songon i pidong bahen singhatna. Dipasahat Dungdang Soaloon ma singhoram ni pidong i luhut, i ma nasa artana tu anah na i. Ai ido padannasida hian dohot hahana boru din a laho manginjam pidong i ibana. Asa magomago ma Dungdang Soaloon ala so diboto morroha ulah tu anahna; alai lam mamora ma anggo Si Talagalang.

SI MAORA NAOTO DOHOT BAONA

Adong ma najolo sada raja, na manubuhon sada boru, jadi dung magodang boruna i dipamulima tu Si Mamora Naoto. Alai ala na tar songon na loak helana i diida raja i gabe dipaingot ma ibana songonon, ‘’Ale amang Simamora, manatmanat damang morpangalaho dohot manghuling asa unang tarhodong hamu di bagasta on; ai godangan hapantanganmu do na mian di bagas on. Baom do na di soding pudi on, ibotom do na di hosa ni ruma i, jala simatuam do na di jabu bona on, nantulangmu do na di soding jolo an; holan na di jolo suhat an do paribanmu. Asa tung sura simper pangalahonasida diida ho, manang tamblas morabit, na niida ni mata ingkon pinaula so niida, jala na binege ni pinggol ingkon pinaula so binege, alai unang so binege.’’
Jadi didok ma mangalusi, ‘’Olo da amang, na mortua do ahu dirohangku ala adong hamu mangajari ahu asa unang mago ahu.’’
Dung torang ari manogot I, hundul ma Si Mamora di jolo ni sopo ni simatuana. Adorang i ruar ma baona sian bagas laho mangarintari obuhna tu pamispisan i. Sai dinolnol Si Mamora ma baona i ndang tos pamerengna. Andorang di na manaili boruboru i dompak jolo sopo gabe diida ma ndang marnatos mata ni baona i dompak ibana. Ala ni i humalaput ma ibana manjama abitna atik beha sala. Alai dung sai dinolonol Si Mamora baona i, muruk situtu ma boruboru i laos dipasiksik ma abitna i dompak ginjang gabe tarida ma di Si Mamora hundulan ni boruboru i.
Dung diida Si Mamora sala ni porabiton ni baona i, digarumus ma matana huhut ma didok, ‘’Inang, inang! Mata ni asu on! Apala na bodari dope morsipaingot simatuangku doli tu ahu gabe so marningot ho nuaeng di si, ale mata asu! Nunga sala ho!’’ Sai i ma didok. ALai andorang di na manggarumus hurumna Si Mamora gabe julluk ma sisilonna tu anak ni matana i laos lonap ma so mornida be.
18. SI TALAGALANG DIPAHU DOHOT DUNGDANG SOALOOAN
Adong ma najolo sada halak pande bagas namorgoar Pambarbar Panderuma Pangarahut Pandesopo Panjungkit Pandejugia Pangarahut Pnadeunggas. Ia goar ni anggina i ma Dungdang Soaloon Mataniari Sosuharon. Rap panggabegabeon do nadua i tumubuhon anak dohot boru. Porhapandean nasumurung do Pambarbar Panderuma paulihon bagas dohot sopo ro di hapandean naasing ndang adong na tulading jamaonna. Molo paulihon bagas naummuli manang ise isi ni huta i ingkon ibana ma alapan ni halah ala ni malona.
Jadi pauli bagas ma sahali anggina i ma Dungdang Soaloon, hahana i ma pandena; tung impol do mata ni ganup na mornida bagas i naeng diibana nian aut na tarbahensa, ala ni dengganna. Mornida i Si Talagalang Dipahu didok ma hatana tu amana i sonogn on, ‘’Tarbarita ma ho ale amang pande nasumurung ia bagas na taingani on ndang denggan dibahen ho. On pe ale amang, pauli ma jolo di ahu sada bagas apala nauli atik sadihari ro pangalap ni nampunasa hosa i di ho, naeng do adong tadinghononnmu di ahu sada bagas na uli.’’
Umbege i Pambarbar Panderuma morhobas ma ibana tu harangan pauli hau. Dung rade sude ro di huta porhau ni bagas sipaulionnasida i, dipungka ma manjama hau i. Jadi ala soada di nasida tuhil, rimbas dohot baliung diinjam ma ulaula ni anggina i. Dung sun dipaulinasida bagas i, disolothon ma naniinjamna i tu toru ni ungalungal portonga na dinghan talaga i paima paulakhon tu nampunasa i.
Ndang pola sadia leleng nari dung diinganinasida bagas i, mate ma Pambarbar Panderuma so sanga dipaulak naniinjamna i manang dipabotohon tu anakna Si Talagalang asa dipaulak nian.
Dung sabulan lelengna naung tu tano Pambarbar Panderuma, morhusari ma Dungdang Soaloon dibagasan dirina songon on, ‘’Uli do nian bagas na hingani on, alai molo huida bagas natinadinghon ni dahahang hira na so bagas be bagashi idaon. Dia nama angkal ulaning bahenonhu asa di ahu bagasna i?’’ ninna rohana. Dung i morningot ma rohana di ulaula na niinjam ni hahana hian ndang mulak dope tu ibana. Ala ni i ditopot ma Si Talagalang didok ma, ‘’Nunga leleng ale amang dung diingani hamu bagas on, beha do umbahen laos so dipaulah ho naniinjam ni amam nahinan?’’
Alai didok Si Talagalang ma, ‘’Ndang adong huboto ale amang manang na adong ulaula diinjam sian hamu ai ndang dipaboa i tu hami.’’ Dung i didok Dungdang Soaloon ma mangalusi, ‘’Adong do tolu ulaula diinjam hamu i ma tuhil, rimbas dohot baliung. I pe buat ma tuson asa laho ahu muli.’’
Dung i dihalojahon Si Talagalang ma mangalului hape ndang dapotsa. Ala ni i ninna ma tu Dungdang Soaloon, ‘’Beha ma i, ale amang, nunga loja ahu mangalului, ndang dapot ahu rupa naung mago do i dibahen.’’ ‘’Ndang tarbahen mago i inghon luluanmu do,’’ ninna Dungdang Soaloon. Dung i didok Si Talagalang ma mangalusi, ‘’Molo so tarbahen mago dia ma bahenon? Matua singhat manang tobus do ali ni na so disi. I pe dok ma asamna manang sadia gararonhu; ia singhat do di roham asa binoto patopahonsa.’’
Jadi ninna Dungdang Soaloon ma mangalusi, ‘’Ndang masuk singhat manang tobus, inghon ugasanhi do mulak tu ahu. Molo so tarpaulah ho i, bagasmi ndang jadi inganannmu ai morujung pe bagasi i nuaeng pinaujung ni ualulanghi do.’’
Dung i didok Si Talagalang ma, ‘’Molo i uhum ninna raja, hahuaon; molo mago hape na niinjam ingkon bagas do singhatna. Sisolisoli panguhumon rajanami. I pe taboanhon ma hata i tu jolo ni raja asa morujung.’’
Saut ma nasida moruhum ; diuhum raja hata i inghon maninghat Si Talagalang di ugasan na mago binahen ni amana. Anghup ni i ia songon i peu hum i ala na so siat do sipaingot dohot eleheleh ni raja tu Dungdang Soaloon. Dioloi Si Talagalang ma uhum i, alai tong do manjua Dungdang Soaloon, sai on do didok, ‘’Molo so ulaula i mulah, inghon bagas i do singhatna.’’
Mutu situtu roha ni raja padengganhonnasida, alai ndang manjadi. Ala so taralo gogo ni Si Talagalang amana i, bunghas ma ibana rap dohot inana paima jumpang ugasan namago i luluanna.
Sian arsak ni roha ni Si Talagalang di pambahen ni amana i laho ma ibana tu hinambor ni amana mangandungandung. Andorang di na mangandungi hinambor ni amana i ibana, diida matana ma di lambung ni hinambor i sada pusat na lupung tu toru, jala di topi ni pusat i tubu do hotang sangkambona na manantan ro di banuatoru.
Jadi sian dele ni rohana diihutihut ma hotang i laho mangalului amana anggiat jumpangsa. Sahat ma SI Talagalang ro di banuatoru jala sai mordalani ma ibana di si. Andorang sai na maotaot i Si Talagalang diida ma sada boruboru na manghait unte. Loja situtu do boruboru i manghaiti alai ndang adong jumpangsa. Ia diudut haithait na i, salpu ma ganjangna sian na hinait; alai molo dibuati haithait na i ndang tuk be sian panghaitan. Sai songon i ma dibahen laos so dapotsa do unte i.
Sian i mordalan ma ibana, jadi jumpangsa ma hauma sarura na bidang. Holan sada do pamuro disi, sonang do hauma indang dipangan amporik agan pe so dihalahhalahi.
Sian i mordalan ma ibana, diida muse ma hauma na asing sarura na bidang jala pasimpar halahalahna dohot hotor, sun do hauma i dipangan amporik agan pe torop na manjagai.
Mangulahi ma mordalan ibana, jadi dapotsa ma sihait antajau. Longang rohana mornida, ai manang beha pe timbo ni antajau i sai jumpangsa do porbuena agan pe jempek haithaitna dibahen.
Sian i mordalan ma ibana jadi dapotsa ma sada huta ni begu. Ala na so diboto rosom ni pangalaho ni huta i, jongjong ma ibana di harbangan paimaimahon halah na ruar sian huta i asa dapot sunghunonna manang na di huta i do amana mian na morgoar Pambarbar Panderuma.
Ndang dope songon na ngolngolan roha ni Si Talagalang na jongjong i, dibege pinggolna ma dijou na manjou goar ni amana i. Dipio raja ni begu amana i ala nambura ro ibana asa dipatuduhon raja ni begu pargadongan siulaonna. Umbege goar i Si Talagalang diadiaon ma rohana, ‘’Damang ma i ulaning na jinouna i?” ninna rohana. Dibahen i dialathon ma na jinou i asa ditanda, ruar ma Pambarbar Panderuma sian bagasna i jadi ditanda Si Talagalang ma ibana. Moringhat ma Si Talagalang mandapothon amana i, dihaol ma ibana sian pudi huhut ma didok, ‘’Idaonku dope ho hape ale amang di son!’’ Mornida i amana i tarsonggot ma ibana didok ma, ‘’Naung mate do ho ale amang?’’
Dung i didok ma mangalusi, ‘’Ndang na mate dope ahu da amang. Alai umbahen na ro ahu tu son paboahon naung dipabunghas damang sianggian do hami dohot dainang sian bagas na huinganihami i ala ni tuhil na mago na niinjammu din a pauli bagas i ho andorang di ngolum. Jadi saleleng so mulak ninna tu ibana ugasan na i, ndang jadi ninna inganannami bagas i. On pe ale amang, anggo na ditabunihon ho dope tuhil i paboa ma tu ahu asa hubuat jala hupaulah tu nampunasa i.’’ Jadi didok amana i ma, ‘’Pos ma roha ni damang di si do tuhil i na lupa do ahu nahinan paboahon i tu ho.
I pe mulak ma damang, buat ma tuhil i solot do hubahen di ungalungal na di tiang portalaga i. Alai asa andar diboto Dungdang Soaloon namangolu do Pambarbar Panderuma atik pe mate ibana; molo dung sahat ho ro di banua tonga, margondang ma ho asa ro ahu siar tu hasandaranhu, jala ahu mambuat tuhil i sian porsibunianhu asa tanganhon mangalehon tu tanganna. Molo so dilehon halah ho manginjam hohas ala ni pogosmu diida, buat ma taktak bulu ogungmu, taratoat ma bahen sarunem, jala solup na tinutup dohot pandunghap ma bahen odapmu. Ndang tarbahen so ro ahu, asa diboto Dungdang Soaloon na saguru di Debata dp hajolmaon; ai so tarbahen jolma i lea anggo so Debata paleahon. Pos ma roham ale anaha, pir ma tondim, ulahon ma songon na huduh i.’’
Dung i diajari amana i ma Si Talagalang morroha na ture, morguru tu na niidana di dalan i, didok ma, ‘’Ida ma ale amang, pangalaho ni porrohaon ni jolma; diida ho nanghin di dalan i sada boruboru na manghait unte, loja sambing do ibana ndang adong jumpangsa. Suman tu si do godangan porrohaon ni jolma torbang lopus do panghulingna. Idaon songon halah na begu jala na barani hape ndang tuh anggo pandohanna, halah porbiar do i jala na tarohtohon, ndang pola habiaran halah sisongon i holan ogaoga do nabinahenna. Songon i porhauma sarura, sonogn rundut ni hotorna i do rundut ni rohana na mago binahen ni hatahata; sipangula ni deba do i, pasiding parrohaon sisongon i.
Alai tiru ma porrohaon ni sihait antajau dohot porrohaon ni porhauma sarura na sonti i. I ma porroha sinemnem uruhuruh silanlan aeh toba, na eteng so tupa morsungutsungut na magodang pe tong do morlas ni roha. Tarbahen ma di porroha na songon i bulu bahen soban musu i tarbahen dongan, ai panghuling do porduaan di jolma na mangolu. I pe mulak ma ho tu hutam bahen ma songon naung hutonahon tu ho. Parangehon poda ni amam jala oloi inam asa sarimatua ho. Ulahon na tama moradophon donganmu asa luhut halak manghaholongi ho.
Dung i mordalan ma Si Talagalang tu hutana, dibaritahon ma tu inana hata na nidok ni amana siulahononnasida. Diulanasida ma gondang i gabe ro ma Pambarbar Panderuma siar tu jolmana. Dibuatnasida ma ugasan i na binunihon ni Pambarbar Panderuma jala dipaulah tu nampunasa i.